Catatan Ziaroh, Syekh Ihsan Jampes
Oleh : Muhammad Fauzi Ridwan
Alhamdulillah saya berkesempatan kembali Ziaroh ke makam beliau. Berbekal niat ngalap (meraih) berkah serta menyambung silaturahmi ruhani dengan para ulama. Semoga lantaran ziaroh ini menjadikan bertambahnya kualitas iman dan taqwa.
Ziaroh merupakan salah satu langkah mendekatkan diri pada Allah swt. Ibarat sebuah sinyal, harus menyambung dengan tower pemancarnya. Para ulama adalah tower yang memancarkan sinyal dan itu saling berkesinambungan sampai dengan pusat sinyal tersebut yakni Rasulullah saw. Dengan menangkap sinyal ulama, maka akan semakin dekat pada Sang Pencipta.
Makam Syekh Ihsan terletak di kota Kediri. Tepatnya di kampung Jampes, desa Putih, kecamatan Gampengrejo, kabupaten Kediri. Beliau lahir tahun 1901 dan wafat 1952 pada umur ke 51 tahun. Angka 51 itu jika digambarkan berupa tebu, yang berarti anteb e kalbu. Anteb e kalbu atau kemantapan hati beliau yang menjadikan tinggi derajatnya. Begitulah penggambaran oleh pak Ali Shomad selaku imam Ziaroh.
Ada tiga hal yang menjadi renungan saya saat selesai ziaroh. Pertama adalah mengingatkan akan kematian. Setiap makhluk yang hidup pasti mati. Kita tidak tahu kapan datangnya, namun kematian serasa begitu dekat. Boleh jadi nanti, besok atau beberapa hari, bulan, dan tahun lagi. Buah kelapa jatuh dari pohonnya tidak selalu yang sudah kering tua, namun yang masih kecil (bluluk) pun juga sering dijumpai. Saat ajal menjemput maka habislah waktu beramal manusia. Pertanyaannya adalah bagaimana kesiapan kita menghadapi kematian yang bisa datang kapan saja?. Semoga kelak kita meninggal dalam keadaan Khusnul khatimah. Amin.
Renungan kedua adalah saat meninggal akankah kuburan kita ramai diziarahi seperti makam waliyullah?. Berapa banyak orang yang ingat bahwa kita pernah hidup?. Ada sebuah filosofi Jawa yang mengatakan bahwa Ajining Asmo soko laku utomo. Kurang lebih maksudnya adalah nama seseorang akan harum sebab budi pekertinya. Seperti yang dicontohkan para waliyullah yang hingga saat ini masih dikenal sebab kebaikan budi pekertinya ketika hidup. Semoga kita dapat menjadikannya suri tauladan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Amin.
Renungan ketiga lebih pada karya apa yang sudah dihasilkan selama hidup?. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa syekh Ihsan Jampes mempunyai karya fenomenal berupa kitab Sirojut Tholibin. Kitab yang merupakan syarah (penjelasan) dari kitab Minhaj al-Abidin karya Imam Ghozali. Sampai saat ini, kitab Sirojut Tholibin masih dikaji dan banyak dijadikan rujukan. Berbeda jauh dengan karya yang dibuat mahasiswa atau skripsi, setelah selesai diujikan tamat.
Sebuah karya dilahirkan dengan harapan bisa memberikan manfaat luas sehingga menjadi amal jariyah bagi penulisnya. Dalam menulis, niat perlu ditata sebaik-baiknya. Tidak boleh asal, karena yang asal-asalan akan merugikan. Yakinlah bahwa setiap kalimat yang ditulis dengan niat baik akan memberikan keberkahan bagi penulisnya. Wa Allohu A'lam
Semoga bermanfaat
Plosokandang, 07-11-2017
Oleh : Muhammad Fauzi Ridwan
Alhamdulillah saya berkesempatan kembali Ziaroh ke makam beliau. Berbekal niat ngalap (meraih) berkah serta menyambung silaturahmi ruhani dengan para ulama. Semoga lantaran ziaroh ini menjadikan bertambahnya kualitas iman dan taqwa.
Ziaroh merupakan salah satu langkah mendekatkan diri pada Allah swt. Ibarat sebuah sinyal, harus menyambung dengan tower pemancarnya. Para ulama adalah tower yang memancarkan sinyal dan itu saling berkesinambungan sampai dengan pusat sinyal tersebut yakni Rasulullah saw. Dengan menangkap sinyal ulama, maka akan semakin dekat pada Sang Pencipta.
Makam Syekh Ihsan terletak di kota Kediri. Tepatnya di kampung Jampes, desa Putih, kecamatan Gampengrejo, kabupaten Kediri. Beliau lahir tahun 1901 dan wafat 1952 pada umur ke 51 tahun. Angka 51 itu jika digambarkan berupa tebu, yang berarti anteb e kalbu. Anteb e kalbu atau kemantapan hati beliau yang menjadikan tinggi derajatnya. Begitulah penggambaran oleh pak Ali Shomad selaku imam Ziaroh.
Ada tiga hal yang menjadi renungan saya saat selesai ziaroh. Pertama adalah mengingatkan akan kematian. Setiap makhluk yang hidup pasti mati. Kita tidak tahu kapan datangnya, namun kematian serasa begitu dekat. Boleh jadi nanti, besok atau beberapa hari, bulan, dan tahun lagi. Buah kelapa jatuh dari pohonnya tidak selalu yang sudah kering tua, namun yang masih kecil (bluluk) pun juga sering dijumpai. Saat ajal menjemput maka habislah waktu beramal manusia. Pertanyaannya adalah bagaimana kesiapan kita menghadapi kematian yang bisa datang kapan saja?. Semoga kelak kita meninggal dalam keadaan Khusnul khatimah. Amin.
Renungan kedua adalah saat meninggal akankah kuburan kita ramai diziarahi seperti makam waliyullah?. Berapa banyak orang yang ingat bahwa kita pernah hidup?. Ada sebuah filosofi Jawa yang mengatakan bahwa Ajining Asmo soko laku utomo. Kurang lebih maksudnya adalah nama seseorang akan harum sebab budi pekertinya. Seperti yang dicontohkan para waliyullah yang hingga saat ini masih dikenal sebab kebaikan budi pekertinya ketika hidup. Semoga kita dapat menjadikannya suri tauladan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Amin.
Renungan ketiga lebih pada karya apa yang sudah dihasilkan selama hidup?. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa syekh Ihsan Jampes mempunyai karya fenomenal berupa kitab Sirojut Tholibin. Kitab yang merupakan syarah (penjelasan) dari kitab Minhaj al-Abidin karya Imam Ghozali. Sampai saat ini, kitab Sirojut Tholibin masih dikaji dan banyak dijadikan rujukan. Berbeda jauh dengan karya yang dibuat mahasiswa atau skripsi, setelah selesai diujikan tamat.
Sebuah karya dilahirkan dengan harapan bisa memberikan manfaat luas sehingga menjadi amal jariyah bagi penulisnya. Dalam menulis, niat perlu ditata sebaik-baiknya. Tidak boleh asal, karena yang asal-asalan akan merugikan. Yakinlah bahwa setiap kalimat yang ditulis dengan niat baik akan memberikan keberkahan bagi penulisnya. Wa Allohu A'lam
Semoga bermanfaat
Plosokandang, 07-11-2017
Comments
Post a Comment