Tradisi Derep
Musim panen telah tiba di daerah tempat tinggal saya. Alhamdulillah padi yang dipanen memiliki kualitas bagus. Semuanya senang, terutama para petani.
Di desa saya ada sebuah tradisi namanya derep. Huruf (e) dibaca sepet. Derep merupakan kerja bersama memanen padi yang dilakukan oleh kelompok tertentu. Biasanya terdiri dari 3, 5 atau bahkan 8 orang. Adapun bayarannya tidak berupa uang, tapi disebut bawon. Yakni gabah yang telah melalui proses pembagian dengan pemilik sawah. Biasanya perbandingannya 8 : 1 bagian. Lumayan.
Ada banyak hal manfaat yang diperoleh dari derep. Pertama upah yang berupa bawon tadi. Meskipun tidak punya sawah, masih mendapatkan gabah. Bagi masyarakat desa, gabah bernilai istimewa sebab merupakan kebutuhan pokok pangan. Ada sebuah nasehat dari embah, "Nek duwe gabah, mangan gak bingung, ora kabeh-kabeh tuku. Yo nek duwe duit terus gpp. Nek pas seret, sak ora-orane panggah ono sing dipangan. Raketan sego lawuh uyah".
Kedua, derep membuka lapangan pekerjaan. Tak perlu ijasah tinggi-tinggi kalau ingin jadi tukang derep. Asalkan punya badan sehat dan kuat syarat utama terpenuhi. Ketiga dapat kiriman sarapan. Maksudnya pada saat kerja derep, makan sudah ditanggung pemilik sawah. Kadang kalau ketepatan pemilik sawah perhatian, makanannya enak. hehe
Tiga manfaat tersebut, pasti didapatkan jika derep di desa saya. Tentunya masih banyak manfaat lainnya yang bisa didapatkan, selagi pekerjaan itu halal. Tidak menutup kemungkinan ada daerah yang punya tradisi sama atau berbeda dalam hal memanen padi. Perbedaan tak perlu diperdebatkan. Semuanya akan baik-baik saja asal tujuannya demi kemaslahatan umat.
Sayangnya di zaman now, petani semakin sedikit. Banyak yang mengeluh sulit mencari tukang tani. Kalaupun ada antriannya sudah banyak. Tak heran jika sekarang panen padi sudah ada mesinnya. Meski dengan mesin bisa jadi praktis, tinggal bayar tarif uang. Namun tidak selamanya baik. Adanya mesin justru membunuh lapangan pekerjaan tukang derep.
Boleh jadi sedikitnya petani karena generasinya (anak) sekolahnya terlalu tinggi dan malah bikin gengsi. Juga banyak orang tua petani yang berpikiran agar anaknya mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan ringan seperti di kantor. Tidak seperti bapak yang panas-panasan di sawah, berat. Anak petani pun jadi dimanja.
Padahal kadang kehidupan tak sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Justru dengan mengajak anak membantu kerja di sawah, ia semakin dewasa. Pengalaman kerja tambah, kesiapan mental semakin matang. Mencari pekerjaan itu sulit, yang sudah ada aja dikerjakan. Mumpung bapak masih punya sawah, bantu ikut mengolahnya. Nanti hasilnya bisa buat bantu biaya sekolahmu. Sekolah tinggi penting, membatu kerja orangtua juga penting. Dua-duanya jangan sampai ada yang ketinggalan.
Sebelum tukang derep banyak yang digantikan mesin. Mari para pemuda generasi petani ambil bagian di sawah. Tak jauh beda dengan sekolah, sawah juga merupakan tempat menempa diri, bagi mereka yang senantiasa berpikir. Mari jaga dan lestarikan tradisi derep, salam budaya.
WaAllohu A'lam
Semoga bermanfaat
Salakkembang, 29-03-2018
Musim panen telah tiba di daerah tempat tinggal saya. Alhamdulillah padi yang dipanen memiliki kualitas bagus. Semuanya senang, terutama para petani.
Di desa saya ada sebuah tradisi namanya derep. Huruf (e) dibaca sepet. Derep merupakan kerja bersama memanen padi yang dilakukan oleh kelompok tertentu. Biasanya terdiri dari 3, 5 atau bahkan 8 orang. Adapun bayarannya tidak berupa uang, tapi disebut bawon. Yakni gabah yang telah melalui proses pembagian dengan pemilik sawah. Biasanya perbandingannya 8 : 1 bagian. Lumayan.
Ada banyak hal manfaat yang diperoleh dari derep. Pertama upah yang berupa bawon tadi. Meskipun tidak punya sawah, masih mendapatkan gabah. Bagi masyarakat desa, gabah bernilai istimewa sebab merupakan kebutuhan pokok pangan. Ada sebuah nasehat dari embah, "Nek duwe gabah, mangan gak bingung, ora kabeh-kabeh tuku. Yo nek duwe duit terus gpp. Nek pas seret, sak ora-orane panggah ono sing dipangan. Raketan sego lawuh uyah".
Kedua, derep membuka lapangan pekerjaan. Tak perlu ijasah tinggi-tinggi kalau ingin jadi tukang derep. Asalkan punya badan sehat dan kuat syarat utama terpenuhi. Ketiga dapat kiriman sarapan. Maksudnya pada saat kerja derep, makan sudah ditanggung pemilik sawah. Kadang kalau ketepatan pemilik sawah perhatian, makanannya enak. hehe
Tiga manfaat tersebut, pasti didapatkan jika derep di desa saya. Tentunya masih banyak manfaat lainnya yang bisa didapatkan, selagi pekerjaan itu halal. Tidak menutup kemungkinan ada daerah yang punya tradisi sama atau berbeda dalam hal memanen padi. Perbedaan tak perlu diperdebatkan. Semuanya akan baik-baik saja asal tujuannya demi kemaslahatan umat.
Sayangnya di zaman now, petani semakin sedikit. Banyak yang mengeluh sulit mencari tukang tani. Kalaupun ada antriannya sudah banyak. Tak heran jika sekarang panen padi sudah ada mesinnya. Meski dengan mesin bisa jadi praktis, tinggal bayar tarif uang. Namun tidak selamanya baik. Adanya mesin justru membunuh lapangan pekerjaan tukang derep.
Boleh jadi sedikitnya petani karena generasinya (anak) sekolahnya terlalu tinggi dan malah bikin gengsi. Juga banyak orang tua petani yang berpikiran agar anaknya mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan ringan seperti di kantor. Tidak seperti bapak yang panas-panasan di sawah, berat. Anak petani pun jadi dimanja.
Padahal kadang kehidupan tak sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Justru dengan mengajak anak membantu kerja di sawah, ia semakin dewasa. Pengalaman kerja tambah, kesiapan mental semakin matang. Mencari pekerjaan itu sulit, yang sudah ada aja dikerjakan. Mumpung bapak masih punya sawah, bantu ikut mengolahnya. Nanti hasilnya bisa buat bantu biaya sekolahmu. Sekolah tinggi penting, membatu kerja orangtua juga penting. Dua-duanya jangan sampai ada yang ketinggalan.
Sebelum tukang derep banyak yang digantikan mesin. Mari para pemuda generasi petani ambil bagian di sawah. Tak jauh beda dengan sekolah, sawah juga merupakan tempat menempa diri, bagi mereka yang senantiasa berpikir. Mari jaga dan lestarikan tradisi derep, salam budaya.
WaAllohu A'lam
Semoga bermanfaat
Salakkembang, 29-03-2018
Comments
Post a Comment