Status Kafir
Oleh : Fauzi Ridwan
Sesungguhnya perdebatan mengenai status Kafir seseorang sudah ada sejak zaman dahulu. Apabila di masa sekarang masih meributkan hal itu, boleh jadi ia belum belajar dari sejarah. Mulai dari munculnya aliran-aliran pemikiran Islam seperti Mu'tazilah, Asy'ariyah, Jabariyah, Qadariyah, Syiah, Khawarij dan sebagainya selalu diwarnai perbedaan pemahaman. Termasuk pemahaman status kafir seseorang. Dalam hal ini yang ingin saya ceritakan adalah saat awal munculnya aliran Asy'ariyah yang menjadi antitesis atas aliran Mu'tazilah.
Pelopor utama berdirinya Asy'ariyah adalah Abu Hasan Al Asy'ari. Sebelumnya beliau adalah kader Mu'tazilah, murid Al-Juba'i. Namun karena beberapa alasan beliau keluar dari Mu'tazilah. Menurut beberapa sumber, ada 3 alasan yang kuat. Pertama beliau pernah bermimpi bertemu Rasulullah. Dalam mimpinya Rasulullah menganjurkan untuk kembali pada Al-Quran dan Sunnah. Alasan kedua beliau termasuk pengikut madzhab Syafi'i, sehingga terpengaruh oleh pemikiran yang moderat. Dan alasan ketiga ini yang menarik. Yakni ketika Al-Juba'i tidak mampu menjawab pertanyaan Asy'ari.
Asy'ari membuka pertanyaan dengan menanyakan status orang mukmin, kafir dan anak kecil di akhirat. Kemudian Al-Juba'i menjawab, orang mukmin mendapatkan kedudukan yang baik dalam surga, orang kafir masuk neraka dan anak kecil terlepas dari neraka.
Asy'ari : kalau anak kecil menginginkan tempat yang baik di surga, mungkinkah itu?
Juba'i : tidak mungkin, kepada anak kecil itu akan dikatakan, tempat yang baik di surga itu didasarkan kepada kepatuhan (ketaqwaan) terhadap Tuhannya. Sedangkan anak kecil tersebut belum memilikinya.
Asy'ari : Andaikata anak kecil itu bilang, bukan salahku ya Tuhan. Sekiranya engkau panjangkan umurku, tentu aku akan mengerjakan amal shaleh seperti yang dilakukan orang mukmin.
Juba'i : Tuhan akan menjawab, Aku tahu jika kupanjangkan umur anak itu akan berbuat dosa yang konsekuensinya akan Kuadzab. Maka demi kepentingan anak itu, dicabutlah nyawanya sebelum sampai usia taklif.
Asy'ariyah : Seandainya orang kafir menggugat, ya Tuhan, Engkau mengetahui masa depan anak itu sebagaimana Engkau juga tahu masa depanku. Tapi kenapa Engkau tidak memelihara kepentinganku sebagaimana Engkau memelihara kepentingan anak kecil itu.
Dari pertanyaan itulah kemudian Al-Juba'i diam tidak bisa menjawab. Dari ketiga alasan itulah yang membuat Asy'ari keluar dari Mu'tazilah. Selain itu juga konteks yang terjadi pada saat itu ada kekacauan teologi yang diakibatkan oleh Mu'tazilah. Sehingga membutuhkan teologi baru yang lebih aman dan nyaman di masyarakat. Akhirnya muncullah Asy'ariyah.
Sesungguhnya dari perdebatan status dua tokoh besar kala itu bisa diambil kesimpulan. Al-Juba'i tetap berkutat pada keyakinannya yang identik dengan pengasihan terhadap anak kecil tersebut. Sedangkan Asy'ari identik dengan keadilannya.
Persoalannya sekarang adalah seseorang dengan mudahnya membenci orang lain yang tak sepaham dengannya dan tak tanggung-tanggung melabelinya kafir. Jika status atau label ini disematkan atas dasar kebencian, maka jelas salah besar. Dalam syairnya Gus Dur telah mengingatkan kita pada lirik "kafire dewe gak digatekne". (Kafir dirinya sendiri tidak diperhatikan).
Oleh karena itu, alangkah baiknya kita tak perlu lagi memperdebatkan status siapa yang kafir dan siapa yang mukmin. Karena sesungguhnya status kafir atau mukmin, surga atau neraka itu mutlak atas kehendak Tuhan. Tugas utama kita sebagai makhluk-Nya adalah bagaimana memelihara hubungan baik dengan-Nya dan sesama makhluk lainnya. Menciptakan kedamaian dalam kerukunan, perbedaan, dan menebar kebaikan untuk alam semesta. Barangsiapa berbuat baik niscaya akan mendapatkan balasan yang lebih baik. Begitu pula sebaliknya.
Wa'Allohu A'lam
Salakkembang, 31-10-2018
Oleh : Fauzi Ridwan
Sesungguhnya perdebatan mengenai status Kafir seseorang sudah ada sejak zaman dahulu. Apabila di masa sekarang masih meributkan hal itu, boleh jadi ia belum belajar dari sejarah. Mulai dari munculnya aliran-aliran pemikiran Islam seperti Mu'tazilah, Asy'ariyah, Jabariyah, Qadariyah, Syiah, Khawarij dan sebagainya selalu diwarnai perbedaan pemahaman. Termasuk pemahaman status kafir seseorang. Dalam hal ini yang ingin saya ceritakan adalah saat awal munculnya aliran Asy'ariyah yang menjadi antitesis atas aliran Mu'tazilah.
Pelopor utama berdirinya Asy'ariyah adalah Abu Hasan Al Asy'ari. Sebelumnya beliau adalah kader Mu'tazilah, murid Al-Juba'i. Namun karena beberapa alasan beliau keluar dari Mu'tazilah. Menurut beberapa sumber, ada 3 alasan yang kuat. Pertama beliau pernah bermimpi bertemu Rasulullah. Dalam mimpinya Rasulullah menganjurkan untuk kembali pada Al-Quran dan Sunnah. Alasan kedua beliau termasuk pengikut madzhab Syafi'i, sehingga terpengaruh oleh pemikiran yang moderat. Dan alasan ketiga ini yang menarik. Yakni ketika Al-Juba'i tidak mampu menjawab pertanyaan Asy'ari.
Asy'ari membuka pertanyaan dengan menanyakan status orang mukmin, kafir dan anak kecil di akhirat. Kemudian Al-Juba'i menjawab, orang mukmin mendapatkan kedudukan yang baik dalam surga, orang kafir masuk neraka dan anak kecil terlepas dari neraka.
Asy'ari : kalau anak kecil menginginkan tempat yang baik di surga, mungkinkah itu?
Juba'i : tidak mungkin, kepada anak kecil itu akan dikatakan, tempat yang baik di surga itu didasarkan kepada kepatuhan (ketaqwaan) terhadap Tuhannya. Sedangkan anak kecil tersebut belum memilikinya.
Asy'ari : Andaikata anak kecil itu bilang, bukan salahku ya Tuhan. Sekiranya engkau panjangkan umurku, tentu aku akan mengerjakan amal shaleh seperti yang dilakukan orang mukmin.
Juba'i : Tuhan akan menjawab, Aku tahu jika kupanjangkan umur anak itu akan berbuat dosa yang konsekuensinya akan Kuadzab. Maka demi kepentingan anak itu, dicabutlah nyawanya sebelum sampai usia taklif.
Asy'ariyah : Seandainya orang kafir menggugat, ya Tuhan, Engkau mengetahui masa depan anak itu sebagaimana Engkau juga tahu masa depanku. Tapi kenapa Engkau tidak memelihara kepentinganku sebagaimana Engkau memelihara kepentingan anak kecil itu.
Dari pertanyaan itulah kemudian Al-Juba'i diam tidak bisa menjawab. Dari ketiga alasan itulah yang membuat Asy'ari keluar dari Mu'tazilah. Selain itu juga konteks yang terjadi pada saat itu ada kekacauan teologi yang diakibatkan oleh Mu'tazilah. Sehingga membutuhkan teologi baru yang lebih aman dan nyaman di masyarakat. Akhirnya muncullah Asy'ariyah.
Sesungguhnya dari perdebatan status dua tokoh besar kala itu bisa diambil kesimpulan. Al-Juba'i tetap berkutat pada keyakinannya yang identik dengan pengasihan terhadap anak kecil tersebut. Sedangkan Asy'ari identik dengan keadilannya.
Persoalannya sekarang adalah seseorang dengan mudahnya membenci orang lain yang tak sepaham dengannya dan tak tanggung-tanggung melabelinya kafir. Jika status atau label ini disematkan atas dasar kebencian, maka jelas salah besar. Dalam syairnya Gus Dur telah mengingatkan kita pada lirik "kafire dewe gak digatekne". (Kafir dirinya sendiri tidak diperhatikan).
Oleh karena itu, alangkah baiknya kita tak perlu lagi memperdebatkan status siapa yang kafir dan siapa yang mukmin. Karena sesungguhnya status kafir atau mukmin, surga atau neraka itu mutlak atas kehendak Tuhan. Tugas utama kita sebagai makhluk-Nya adalah bagaimana memelihara hubungan baik dengan-Nya dan sesama makhluk lainnya. Menciptakan kedamaian dalam kerukunan, perbedaan, dan menebar kebaikan untuk alam semesta. Barangsiapa berbuat baik niscaya akan mendapatkan balasan yang lebih baik. Begitu pula sebaliknya.
Wa'Allohu A'lam
Salakkembang, 31-10-2018
Comments
Post a Comment