Tiban, Ritual Pemanggil Hujan
Oleh : Muhammad Fauzi Ridwan
Jawa termasuk wilayah yang kaya akan tradisi, ritual, kesenian dan budayanya. Salah satu contoh yang hingga saat ini masih lestari adalah tiban. Beberapa hari lalu, tepatnya mulai tanggal 19 september 2018 sampai dua minggu ke depannya, ada pagelaran tiban yang diselenggarakan di dusun Centong, desa Sawentar, kecamatan Kanigoro, Blitar. Meski baru pertamakalinya tiban diselenggarakan di wilayah itu, antusiasme warga untuk menyaksikan tetap ramai. Hal ini justru menandakan bahwa tiban masih diminati banyak kalangan.
Pagelaran tiban dilaksanakan bergilir antara paguyuban satu dengan yang lainnya. Kali ini yang menjadi tuan rumah dari paguyuban desa Sawentar. Kemudian paguyuban yang lain diundang untuk hadir dan menampilkan para jawaranya. Jawara adalah sebutan bagi para pemain tiban. Menurut penuturan bapak Mahmudi, selaku ketua panitia menyampaikan bahwa undangan tiban tidak hanya jawara satu daerah Blitar, tapi juga mendatangkan jawara dari Tulungagung, Kediri dan bahkan yang terjauh dari Banyuwangi. Pada hari pertama pembukaan tiban, jawara yang tampil masih tuan rumah dan jawara dari desa Maliran.
Tiban, apabila diutak atik namanya bisa berarti merupakan sebuah singkatan dari Tibo Udan (bahasa Jawa). Tibo, teka atau tiba, artinya datang. Sedang udan berarti hujan. Dari terminologi istilah tersebut, menguatkan bahwa tiban memang bertujuan sebagai ritual pemanggil hujan. Begitulah kepercayaan yang sampai saat ini diyakini para jawara tiban.
Bedasarkan sambutan bapak Mahmudi selaku ketua panitia Tiban, menuturkan tentang tujuan diselenggarakannya pagelaran tiban. Pertama nguri-nguri seni budaya tiban atau merawat seni budaya tiban, agar tetap lestari. Selanjutnya meneruskan adat istiadat masyarakat Jawa khususnya para petani, pada saat kemarau panjang. Dengan diselenggarakannya tiban, mengharap adanya berkah berupa turunnya hujan. Ketiga kalinya sebagai tes mental bagi para pemuda, para jawara-jawara tiban. Bapak Mahmudi menegaskan tidak ada niat lain, ketiga hal diatas adalah tujuan utamanya.
Ritual tiban dimulai pada waktu siang hari. Berakhir sampai sore hari. Dahulu tiban dilakukan di tengah lapangan. Namun karena beberapa kali menyebabkan keributan, tempat tiban beralih menggunakan panggung setinggi 2 meter. Para jawara bisa saling beradu diatas panggung dan penonton bisa menyaksikan dengan lebih aman. Properti yang digunakan jawara antara lain yaitu cambuk dari rotan, helm, dan selendang kain. Ketika jawara berlaga, keduanya harus telanjang dada (ote-ote dalam bahasa Jawa) dan ada dua wasit yang mengatur jalannya pagelaran.
Adapun tiban selalu diselenggarakan pada saat musim kemarau yang panjang. Sebagian besar jawara dan penikmat tiban adalah seorang petani. Maka pengharapan atas datangnya hujan adalah suatu hal yang dinanti-nantikan. Karena air hujan adalah sumber kesejahteraan masyarakat. Hujan diyakini sebagai keberkahan sebab berkat curahan airnya tanaman di sawah bisa tumbuh subur.
Ritual tiban tidak serta merta antar jawara saling beradu cambuk mencambuk. Ada aturan khusus yang harus dipahami terlebih dahulu oleh para jawara sebelum berlaga. Aturan pertama masing-masing jawara diberikan jatah (bagian) tiga kali cambukan Kedua cambukan tidak boleh mengenai bagian kepala dan kemaluan. Apabila aturan kedua ini dilanggar, jatah cambukan dikurangi satu. Selesai mencambuk tiga kali, jawara tiban bergantian dengan dua jawara baru lainnya untuk beraksi. Terus bergilir sampai semua jawara bertanding, kemudian baru diperbolehkan berlaga lagi. Mudahnya semua jawara diberikan kesempatan untuk berlaga.
Teknis ritual tiban yakni satu jawara mencambuk tiga kali berturut dan jawara satunya bertahan dari serangan cambukan. Semua pemain membawa cambuk yang terbuat dari rotan. Akan tetapi berbeda bagi pemain bertahan, cambuk dilapisi karet agar tidak mudah patah. Selain itu pemain bertahan juga menggunakan helm untuk keamanan kepala dan kain ikat pinggang sebagai tali untuk dipegang pemain penyerang agar tidak lari.
Meski terlihat seperti duel, dalam ritual tiban tidak ditentukan siapa yang menang dan kalah. Siapapun yang berani tampil tiban, mereka disebut sebagai jawara. Adapun kedua jawara yang akan bertanding disetarakan. Baik dari segi umur maupun postur tubuh.
Pagelaran tiban selalu diiringi musik gamelan. Alunan musik yang indah membuat pemain semakin menjiwai perannya. Dengan nada khasnya gamelan, ada suara yang keras dan lembut dari gending yang menggambarkan jiwa manusia. Seperti yang disampaikan oleh Suwardi Endraswara dalam bukunya ilmu jiwa Jawa bahwa antara jiwa keras dan lembut harus seimbang agar menciptakan ketenangan. Sedang apabila tidak seimbang suara gending, maka yang terjadi adalah gendeng.
Sejak dahulu tiban dipercaya sebagai ritual yang bertujuan mendatangkan hujan. Kepercayaan yang sudah diwariskan nenek moyang turun temurun. Beberapa senior tiban juga meyakini demikian seperti mbah Tumijan dan mbah Wada. Meski umur sudah 80an tahun, tetap terlihat sehat, bugar dan berani tampil berlaga dengan energik.
Kepercayaan tiban sebagai pemanggil hujan telah mengakar kuat pada diri setiap jawara tiban. Terbukti ketika banyak diantara mereka ketika ditanyai tujuan diadakannya pagelaran tiban salah satunya adalah mengharap datangnya hujan. Jika diambil perumpamaan terkait buah keyakinan ini, sama halnya seperti banyak orang yang percaya bahwa apabila orang yang sakit akan sembuh apabila diperiksakan di rumah sakit. Namun nyatanya tidak semua pasien rumah sakit bisa sembuh. Terlepas dari itu semua, apakah tiban benar-benar bisa mendatangkan hujan atau cuma menjadi mitos, menjadi pekerjaan yang tidak mudah untuk dibuktikan. Perlu adanya klarifikasi lebih lanjut. Soal terkait ilmiah atau tidaknya tergantung bagaimana kita memperlakukan hal itu.
Tulungagung, 10-02-2018
Oleh : Muhammad Fauzi Ridwan
Jawa termasuk wilayah yang kaya akan tradisi, ritual, kesenian dan budayanya. Salah satu contoh yang hingga saat ini masih lestari adalah tiban. Beberapa hari lalu, tepatnya mulai tanggal 19 september 2018 sampai dua minggu ke depannya, ada pagelaran tiban yang diselenggarakan di dusun Centong, desa Sawentar, kecamatan Kanigoro, Blitar. Meski baru pertamakalinya tiban diselenggarakan di wilayah itu, antusiasme warga untuk menyaksikan tetap ramai. Hal ini justru menandakan bahwa tiban masih diminati banyak kalangan.
Pagelaran tiban dilaksanakan bergilir antara paguyuban satu dengan yang lainnya. Kali ini yang menjadi tuan rumah dari paguyuban desa Sawentar. Kemudian paguyuban yang lain diundang untuk hadir dan menampilkan para jawaranya. Jawara adalah sebutan bagi para pemain tiban. Menurut penuturan bapak Mahmudi, selaku ketua panitia menyampaikan bahwa undangan tiban tidak hanya jawara satu daerah Blitar, tapi juga mendatangkan jawara dari Tulungagung, Kediri dan bahkan yang terjauh dari Banyuwangi. Pada hari pertama pembukaan tiban, jawara yang tampil masih tuan rumah dan jawara dari desa Maliran.
Tiban, apabila diutak atik namanya bisa berarti merupakan sebuah singkatan dari Tibo Udan (bahasa Jawa). Tibo, teka atau tiba, artinya datang. Sedang udan berarti hujan. Dari terminologi istilah tersebut, menguatkan bahwa tiban memang bertujuan sebagai ritual pemanggil hujan. Begitulah kepercayaan yang sampai saat ini diyakini para jawara tiban.
Bedasarkan sambutan bapak Mahmudi selaku ketua panitia Tiban, menuturkan tentang tujuan diselenggarakannya pagelaran tiban. Pertama nguri-nguri seni budaya tiban atau merawat seni budaya tiban, agar tetap lestari. Selanjutnya meneruskan adat istiadat masyarakat Jawa khususnya para petani, pada saat kemarau panjang. Dengan diselenggarakannya tiban, mengharap adanya berkah berupa turunnya hujan. Ketiga kalinya sebagai tes mental bagi para pemuda, para jawara-jawara tiban. Bapak Mahmudi menegaskan tidak ada niat lain, ketiga hal diatas adalah tujuan utamanya.
Ritual tiban dimulai pada waktu siang hari. Berakhir sampai sore hari. Dahulu tiban dilakukan di tengah lapangan. Namun karena beberapa kali menyebabkan keributan, tempat tiban beralih menggunakan panggung setinggi 2 meter. Para jawara bisa saling beradu diatas panggung dan penonton bisa menyaksikan dengan lebih aman. Properti yang digunakan jawara antara lain yaitu cambuk dari rotan, helm, dan selendang kain. Ketika jawara berlaga, keduanya harus telanjang dada (ote-ote dalam bahasa Jawa) dan ada dua wasit yang mengatur jalannya pagelaran.
Adapun tiban selalu diselenggarakan pada saat musim kemarau yang panjang. Sebagian besar jawara dan penikmat tiban adalah seorang petani. Maka pengharapan atas datangnya hujan adalah suatu hal yang dinanti-nantikan. Karena air hujan adalah sumber kesejahteraan masyarakat. Hujan diyakini sebagai keberkahan sebab berkat curahan airnya tanaman di sawah bisa tumbuh subur.
Ritual tiban tidak serta merta antar jawara saling beradu cambuk mencambuk. Ada aturan khusus yang harus dipahami terlebih dahulu oleh para jawara sebelum berlaga. Aturan pertama masing-masing jawara diberikan jatah (bagian) tiga kali cambukan Kedua cambukan tidak boleh mengenai bagian kepala dan kemaluan. Apabila aturan kedua ini dilanggar, jatah cambukan dikurangi satu. Selesai mencambuk tiga kali, jawara tiban bergantian dengan dua jawara baru lainnya untuk beraksi. Terus bergilir sampai semua jawara bertanding, kemudian baru diperbolehkan berlaga lagi. Mudahnya semua jawara diberikan kesempatan untuk berlaga.
Teknis ritual tiban yakni satu jawara mencambuk tiga kali berturut dan jawara satunya bertahan dari serangan cambukan. Semua pemain membawa cambuk yang terbuat dari rotan. Akan tetapi berbeda bagi pemain bertahan, cambuk dilapisi karet agar tidak mudah patah. Selain itu pemain bertahan juga menggunakan helm untuk keamanan kepala dan kain ikat pinggang sebagai tali untuk dipegang pemain penyerang agar tidak lari.
Meski terlihat seperti duel, dalam ritual tiban tidak ditentukan siapa yang menang dan kalah. Siapapun yang berani tampil tiban, mereka disebut sebagai jawara. Adapun kedua jawara yang akan bertanding disetarakan. Baik dari segi umur maupun postur tubuh.
Pagelaran tiban selalu diiringi musik gamelan. Alunan musik yang indah membuat pemain semakin menjiwai perannya. Dengan nada khasnya gamelan, ada suara yang keras dan lembut dari gending yang menggambarkan jiwa manusia. Seperti yang disampaikan oleh Suwardi Endraswara dalam bukunya ilmu jiwa Jawa bahwa antara jiwa keras dan lembut harus seimbang agar menciptakan ketenangan. Sedang apabila tidak seimbang suara gending, maka yang terjadi adalah gendeng.
Sejak dahulu tiban dipercaya sebagai ritual yang bertujuan mendatangkan hujan. Kepercayaan yang sudah diwariskan nenek moyang turun temurun. Beberapa senior tiban juga meyakini demikian seperti mbah Tumijan dan mbah Wada. Meski umur sudah 80an tahun, tetap terlihat sehat, bugar dan berani tampil berlaga dengan energik.
Kepercayaan tiban sebagai pemanggil hujan telah mengakar kuat pada diri setiap jawara tiban. Terbukti ketika banyak diantara mereka ketika ditanyai tujuan diadakannya pagelaran tiban salah satunya adalah mengharap datangnya hujan. Jika diambil perumpamaan terkait buah keyakinan ini, sama halnya seperti banyak orang yang percaya bahwa apabila orang yang sakit akan sembuh apabila diperiksakan di rumah sakit. Namun nyatanya tidak semua pasien rumah sakit bisa sembuh. Terlepas dari itu semua, apakah tiban benar-benar bisa mendatangkan hujan atau cuma menjadi mitos, menjadi pekerjaan yang tidak mudah untuk dibuktikan. Perlu adanya klarifikasi lebih lanjut. Soal terkait ilmiah atau tidaknya tergantung bagaimana kita memperlakukan hal itu.
Tulungagung, 10-02-2018
Comments
Post a Comment