Oleh: Fauzi Ridwan
Seorang yang tahu akan usianya, berarti ia masih bisa berpikir. Namun belum tentu pikirannya membawa pada kesadaran. Karena pikiran tanpa aksi nyata hanyalah sekadar angan-angan belaka. Kosong tanpa makna. Sebaliknya berpikir dengan kesadaran serta sudah berbuat, tentu hidupnya akan bermakna. Sebuah tanda kedewasaan usia.
Akhir dari perjalanan usia, kita memang tak tahu. Seperti buah kelapa, kadangkala masih 'bluluk' sudah jatuh, bisa pula saat sudah kering tua kecoklatan baru jatuh tutup usia. Namun bukan tidak mungkin usia seseorang bisa abadi. Ia akan terus dikenal sepanjang masa. Tentu selama ia punya peninggalan yang bermakna. Bisa berupa karya goresan pena yang bisa diambil manfaatnya. Kelak akan menjadi jariyah yang terus mengalir pahalanya.
Coba kita rogoh kesadaran diri kita. Bila sehari jatah tidur kita delapan jam, maka sebulan sudah 240 jam. Sama dengan selama tiga puluh hari, hanya dua puluh hari kita bisa produktif. Sepuluh hari habis kita gunakan untuk tidur. Jika ditarik lebih panjang lagi selama setahun, kita tidur selama 2980 jam atau setara 121 hari. Waduh, jadi selama setahun, bila dihitung waktu tidur kita ada empat bulan. Duh, bila demikian sepertiga usia kita hanya akan habis untuk tidur.
Memang tidak salah banyak tidur. Syukur-syukur berkat banyak tidur itu justru menjauhkan diri dari melakukan maksiat. Yang salah itu kan apabila hari ini lebih buruk dari kemarin. Kalau hari ini masih sama dengan kemarin, itu pun masih disebut rugi. Seyogyanya hari ini harus tambah lebih baik dari kemarin agar beruntung.
Agar bisa menjadi lebih baik, hambatan pertama yang harus kita lalui adalah melawan diri sendiri. Bagaimana kita mengalahkan nafsu yang mengajak pada kesia-siaan. Apabila problem dalam diri ini sudah bisa diatasi, bukan tidak mungkin untuk berkembang lebih baik. Niatnya tertata dan komitmennya kokoh. Tak mudah goyah ketika godaan menerpa.
Dalam Islam, ada hisab atau perhitungan atas segala amal perbuatan kita. Jumlah kebaikan akan ditimbang dengan jumlah keburukan kita. Kebaikan akan diganjar dengan kenikmatan. Sedang keburukan akan ditebus dengan kesengsaraan. Manusia telah diberikan pikiran untuk memilihnya. Juga telah diberikan tuntunan dari kitab suci melalui Rasul-Nya. Sungguh sifat manusia yang paling utama adalah pengetahuan. Karenanya ia bisa berfikir dan bisa menjadi lebih baik dibandingkan makhluk lainnya.
Mari kita berfikir sejenak. Bila kelak usia ada hisabnya. Betapa lama telah terbuang sia-sia? Berapa sebentar telah berguna?
Usia memang bukan ukuran waktu. Bukan pula berapa banyak tahun telah berlalu. Namun usia tentang seberapa berguna dan dewasa kita dalam berperilaku. WaAllohua'lam.
Salakkembang, 28-07-2020
Seorang yang tahu akan usianya, berarti ia masih bisa berpikir. Namun belum tentu pikirannya membawa pada kesadaran. Karena pikiran tanpa aksi nyata hanyalah sekadar angan-angan belaka. Kosong tanpa makna. Sebaliknya berpikir dengan kesadaran serta sudah berbuat, tentu hidupnya akan bermakna. Sebuah tanda kedewasaan usia.
Akhir dari perjalanan usia, kita memang tak tahu. Seperti buah kelapa, kadangkala masih 'bluluk' sudah jatuh, bisa pula saat sudah kering tua kecoklatan baru jatuh tutup usia. Namun bukan tidak mungkin usia seseorang bisa abadi. Ia akan terus dikenal sepanjang masa. Tentu selama ia punya peninggalan yang bermakna. Bisa berupa karya goresan pena yang bisa diambil manfaatnya. Kelak akan menjadi jariyah yang terus mengalir pahalanya.
Coba kita rogoh kesadaran diri kita. Bila sehari jatah tidur kita delapan jam, maka sebulan sudah 240 jam. Sama dengan selama tiga puluh hari, hanya dua puluh hari kita bisa produktif. Sepuluh hari habis kita gunakan untuk tidur. Jika ditarik lebih panjang lagi selama setahun, kita tidur selama 2980 jam atau setara 121 hari. Waduh, jadi selama setahun, bila dihitung waktu tidur kita ada empat bulan. Duh, bila demikian sepertiga usia kita hanya akan habis untuk tidur.
Memang tidak salah banyak tidur. Syukur-syukur berkat banyak tidur itu justru menjauhkan diri dari melakukan maksiat. Yang salah itu kan apabila hari ini lebih buruk dari kemarin. Kalau hari ini masih sama dengan kemarin, itu pun masih disebut rugi. Seyogyanya hari ini harus tambah lebih baik dari kemarin agar beruntung.
Agar bisa menjadi lebih baik, hambatan pertama yang harus kita lalui adalah melawan diri sendiri. Bagaimana kita mengalahkan nafsu yang mengajak pada kesia-siaan. Apabila problem dalam diri ini sudah bisa diatasi, bukan tidak mungkin untuk berkembang lebih baik. Niatnya tertata dan komitmennya kokoh. Tak mudah goyah ketika godaan menerpa.
Dalam Islam, ada hisab atau perhitungan atas segala amal perbuatan kita. Jumlah kebaikan akan ditimbang dengan jumlah keburukan kita. Kebaikan akan diganjar dengan kenikmatan. Sedang keburukan akan ditebus dengan kesengsaraan. Manusia telah diberikan pikiran untuk memilihnya. Juga telah diberikan tuntunan dari kitab suci melalui Rasul-Nya. Sungguh sifat manusia yang paling utama adalah pengetahuan. Karenanya ia bisa berfikir dan bisa menjadi lebih baik dibandingkan makhluk lainnya.
Mari kita berfikir sejenak. Bila kelak usia ada hisabnya. Betapa lama telah terbuang sia-sia? Berapa sebentar telah berguna?
Usia memang bukan ukuran waktu. Bukan pula berapa banyak tahun telah berlalu. Namun usia tentang seberapa berguna dan dewasa kita dalam berperilaku. WaAllohua'lam.
Salakkembang, 28-07-2020
Comments
Post a Comment