Santri Dhomir


Oleh : Fauzi Ridwan
Mempelajari nahwu adalah senjata santri untuk mengkaji kitab kuning. Tanpa ilmu nahwu yang mumpuni, santri bisa terjebak pada kesalahan dalam memaknai kitab kuning. Seperti yang kita ketahui bahwa bahasa Arab itu bila harokatnya berubah sedikit saja, maknanya juga berubah. Sedang kebanyakan literatur kitab kuning ditulis dengan tanpa harokat. Nah, ketika santri sudah mahir tentang grammernya bahasa Arab ini. Santri akan mudah membaca dan bisa menguasai banyak literatur Islam dari bahasa asalnya.
Kali ini penulis memberikan sedikit catatan yang merupakan hasil mengaji bersama para santri. Catatan ini sebagai upaya penulis merawat ingatan dan refleksi perenungan menggali hikmah. Tema yang penulis angkat adalah tentang dhomir.
Dhomir memiliki arti kata ganti. Ada dua macam dhomir dalam ilmu nahwu. Yaitu dhomir munfasil dan dhomir muttasil. Perbedaan keduanya ada pada penulisannya. Dhomir munfasil adalah dhomir yang berdiri sendiri, contohnya هو . Sedang muttasil adalah dhomir yang selalu menempel, seperti ه .
Dhomir munfasil yang berdiri sendiri merupakan ibarat sikap kemandirian santri. Salah satu nilai yang seringkali ditemukan di pondok pesantren adalah kemandirian. Santri yang mondok itu jauh dari orang tua, sehingga ia dilatih untuk tidak manja. Kalau biasanya dirumah ia sering dicucikan bajunya, tak mau merapikan tempat tidur, tak mau cuci piring, ketika di pondok ia harus memenuhi kebutuhan pribadinya. Kalau di pondok masih saja 'koproh', ia akan dijahili temannya. Bajunya yang tak rapi, akan lebih baik dibuang daripada 'ngumbrus'. Karena di pondok, tidak ada namanya kamar pribadi. Semua erat dengan kebersamaan.
Gambaran di atas merupakan contoh kecil kemandirian santri. Pembelajaran kecil yang tidak boleh disepelekan. Santri yang mampu merawat dirinya dan bisa memanajemen kebutuhan dirinya termasuk santri yang mandiri. Di pesantren adalah tempat yang tepat untuk melatih kemandirian anak. Agar anak tidak lagi manja.
Sedang dhomir muttasil yang selalu menempel memiliki ibarat bahwa santri harus senantiasa dekat dengan ilmu dan gurunya. Dekat dengan ilmu berarti terus belajar dalam kondisi apapun. Jadwal yang padat di pesantren sebagian besar diisi dengan kegiatan belajar. Selesai jamaah subuh mengaji Al-Qur'an. Pagi sampai siang sekolah formal. Sore dan malam mengaji di madrasah diniah. Sungguh beruntung menjadi santri, karena memiliki banyak kesempatan untuk belajar / dekat dengan ilmu, tanpa banyak gangguan seperti game smartphone dan sebagainya.
Di pesantren santri juga dekat dengan kyai dan ustaz. Dari beliau kita bisa belajar langsung dan menyaksikan keteladanan. Bahkan kedekatan santri ini juga diwujudkan berupa doa. Ada ikatan ruhani antara guru dan murid melalui doa yang disebut tawasul. Antar kyai, ustaz dan santri saling mendoakan. Kyai dan ustaz mendoakan agar santri tambah kerasan dan kasil belajarnya. Santri mendoakan kyai dan ustaznya dengan harapan mendapatkan ridho dan berkah ilmunya. Sungguh ketersambungan doa ini barangkali hanya ditemukan di pesantren.
Santri dhomir merupakan sebutan penulis bagi santri yang bisa mengaplikasikan dua nilai dhomir di atas. Jadilah santri dhomir munfasil yang mandiri. Berjuanglah menjadi santri dhomir muttasil yang selalu menempel dan dekat dengan ilmu dan guru.
😁
: Ustaz, bagaimana kalau sekalian juga dekat dengan mbak santri? Eh,
👳
: Kalau itu, asal kamu sudah bisa mandiri dan ilmunya ngaji sudah mumpuni gak perlu mendekat, pasti didekati kok.
Ea.
WaAllohua'lam.
Salakkembang, 25-08-2020

Comments