Oleh : Fauzi Ridwan
Kalau ingin menjadi alim (ahli ilmu), sering-seringlah mengajar. Mewariskan ilmu pada generasi selanjutnya merupakan cara memanfaatkan ilmu yang kita dapat. Mengajar dan menulis adalah medianya. Perlu kita sadari bahwa manusia itu punya sifat pelupa. Tanpa mengajar atau menulis, ilmu yang kita dapat mudah hilang.
Dari menjadi pengajar, kita akan berupaya memahami secara lebih mendalam sebuah ilmu. Dari mengajar pula, kita sering berulangkali mengkaji sebuah ilmu. Barangkali tanpa ada tugas mengajar, seseorang akan berhenti belajar. Ini penyakit yang sering tidak kita sadari. Bahwa kita cuma akan belajar apabila ada tugas, seperti PR dan sebagainya. Penyakit ini menghilangkan sikap kemandirian belajar. Kita membaca buku, bukan karena menyukainya. Namun karena kepentingan tugas. Duh.
Mengajar adalah media agar ilmu menjadi bermanfaat. Sebelum mulai mengajar, penting kita cermati wasiat ketiga, "kemanfaatan e ilmu iku sebab ridhone guru". Kebermanfaatan ilmu itu sebab ridanya guru. Wasiat ini memperingatkan kita bahwa kita tidak boleh asal mulai mengajar. Ada adabnya, terlebih dahulu kita harus minta restu untuk mengajarkan ilmu dari guru kita. Kalau kita asal mengajar, bukan manfaat yang didapat, tapi malah jadi sesat.
Sedang apabila kita langsung diutus mengajar oleh guru kita, usahakan sebaik mungkin menjalankannya. Karena perintah itu merupakan tanda kepercayaan guru atas kemampuan kita. Ada rida guru di dalamnya. Dari mendapat rida guru tersebut, akan menjadi pembuka jalan kebermanfaatan ilmu.
Rida guru ini menjadi penting karena mengajarkan kita sikap tawaduk. Rendah hati adalah sebaik-baiknya busana setiap ahli ilmu. Seorang alim yang sombong sedikit saja, ilmunya tidak akan bermanfaat. Kita bisa belajar dari kisah pengarang nadzom Alfiyah Ibnu Malik.
Ketika Syaikh Ibnu Malik menuliskan bait yang berarti bahwa miliknya mengungguli Alfiyahnya Ibnu Mu'thi, seketika ingatan atas 1000 bait yang akan ditulis hilang. Ingatan itu kembali lagi setelah Syaikh Ibnu Malik berziarah ke makam gurunya tersebut untuk berdzikir dan memohon maaf atas kesalahannya.
Syaikh Ibnu Malik melupakan akhlakul karimah seorang murid yang harus tawaduk kepada gurunya. Akhirnya Ibnu Malik menambahkan 2 bait sebagai pujian dan doa atas gurunya sehingga menjadi 1002 bait. Sungguh istimewa, nadzom alfiyah Ibnu Malik sampai saat ini masih dihafalkan dan dipelajari para santri di banyak pesantren. WaAllohua'lam.
***
Ilingo, tumancep e ilmu iku sebab sering diulang. Barokah e ilmu iku sebab khidmah. Lan kemanfaatan e ilmu iku sebab ridhone guru.
Salakkembang, 10-09-2020
Comments
Post a Comment