Ngaji Toleransi

Menjelang momentum Natal, acapkali kita dibingungkan antara keinginan bertoleransi di satu pihak dan menjalankan agama secara benar di pihak lainnya. Agama yang benar menghendaki keimanan yang kuat dan teguh. Sedang apabila kita hidup dilingkungan yang majemuk, persinggungan antar pemeluk agama lain tak bisa dihindarkan. Sikap toleransi merupakan fitrah pergaulan manusia sebagai makhluk sosial.

Apa itu toleransi? Bagaimana bertoleransi secara benar? Secara mudah dipahami bahwa toleransi agama bukan berarti membenarkan keyakinan dan ajaran semua agama. Toleransi agama yaitu menghargai keyakinan agama lain tanpa merusak keyakinan sendiri.

Simak kisah turunnya surat al-kafirun. Ketika itu Nabi Muhammad Saw didatangi para pembesarnya kafir Quraish. Mereka menawarkan damai, dengan cara mereka akan menyembah Tuhan Muhammad selama setahun apabila Muhammad juga menyembah Tuhan mereka selama setahun pula. Lalu turunlah wahyu surat al-kafirun yang menjawab secara tegas perihal ini. Dengan penutup; bagimu agamamu, bagiku agamaku.

Barangkali yang membuat kita rancu adalah kebiasaan melihat agama lain dengan kacamata agama sendiri. Padahal keyakinannya pun sudah berbeda. Inilah noda yang sering menempel pada diri kita. Akibatnya adalah kita merasa paling suci, paling benar sendiri. Yang berbeda disalahkan. Ini merupakan sikap yang perlu kita buang jauh-jauh.

Toleransi itu menghargai orang lain tanpa merendahkan diri sendiri. Menghormati keyakinan dan pendirian orang lain tanpa mengurangi keyakinan dan pendirian sendiri. Contohnya;

Saya suka tempe, anda suka sate. Silahkan anda memakan sate anda, saya tidak akan mengejek kesukaan anda, apalagi mengganggu kenikmatan anda terhadap sate. Tapi biarkan juga saya makan tempe kesukaan saya. Jangan anda ejek dan usik. Anda jangan memaksa saya makan sate, saya pun tidak akan memaksa Anda makan tempe.

Pointnya marilah saling teposliro. Masing-masing berusaha menghindari hal-hal yang bisa diartikan menyakiti, menyinggung perasaan, kecemburuan, atau menganggu pemeluk agama lain. Yang terpenting adalah bagaimana kita bisa melihat dan menyikapi perbedaan secara dewasa. Mampu dan bersedia menghormati pendapat dan keyakinan orang lain, tanpa menguraikan tali kesatuan dan ukhuwah kita. Perbedaan itu adalah rahmat. WaAllohua'lam.

Oleh: Muhammad Fauzi Ridwan
Salakkembang, 15 Desember 2020




Comments