Oleh: Muhammad Fauzi Ridwan
Ada dua cara pokok bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Pertama dengan cara mendasarkan diri pada akal budi atau rasio, mereka yang mendukung ini dikenal dengan rasionalisme. Cara kedua dengan mendasarkan diri kepada pengalaman, yang dikenal dengan empirisme. Secara garis besar ada empat sumber pengetahuan, yakni; rasio (akal budi), pengelaman empiris, intuisi, dan wahyu.
A. Rasio
Penganut paham rasionalis menyatakan bahwa dalam menyusun pengetahuan harus dengan metode deduktif. Metode ini merupakan model penarikan kesimpulan yang diawali dengan premis mayor dan diiringi dengan premis minor yang menghasilkan sebuah konklusi. Premis yang dipakai untuk penalarannya diperoleh dari ide yang menurut anggapannya jelas dan dapat diterima. Ide bagi kaum rasionalis bersifat apriori dan pra-pengalaman yang didapatkan manusia melalui penalaran rasionalnya.
Ada masalah yang timbul dari cara berpikir rasional yakni mengenai kriteria untuk mengetahui akan kebenaran suatu ide. Ide yang menurut si A jelas dan dapat dipercaya, akan tetapi belum tentu bagi si B. Hal ini karena semua premis-premis bersumber pada penalaran rasional yang bersifat abstrak dan terbebas dari pengalaman empiris, sehingga tidak dapat melakukan evaluasi. Oleh karena itu, melalui penalaran rasional akan diperoleh bermacam-macam pengetahuan mengenai satu objek tertentu, tanpa adanya consensus yang dapat diterima oleh semua pihak.
Pemikiran rasional cenderung bersifat solipsistic yakni hanya benar dalam kerangka pemikiran tertentu yang berada dalam benak orang berpikir tersebut. Selain itu juga bersifat subjektif, yakni kebenaran yang menurut pandangan sendiri.
B. Pengalaman Empiris
Kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia hanya didapatkan melalui pengalaman inderawi yang konkret dan nyata. Gejala-gejala alamiah menurut anggapat kaum empiris bersifat konkret dan dapat dinyatakan lewat tangkapan pancaindera manusia. Seperti contoh langit yang mendung biasanya diikuti dengan turunnya hujan. Hasil pengamatan sebagaimana contoh tersebut akan membuahkan pengetahuan mengenai berbagai gejala yang mengikuti pola-pola tertentu.
Ada dua masalah yang bisa timbul akibat kaum empiris beranggapan bahwa dunia fisik adalah nyata karena merupakan gejala yang tertangkap oleh pancaindera. Masalah pertama terkait hubungan antara berbagai fakta tidaklah nyata sebagaimana yang disangka. Harus ada suatu kerangka pemikiran yang memberikan latar belakang mengapa X mempunyai hubungan dengan Y. Seperti contoh, apakah rambut gundul memiliki keterkaitan dengan kepintaran manusia? apabila kita menjawab tidak, bagaimana apabila penalaran induktif membuktikan sebaliknya? itulah yang menjadi masalah pertama.
Masalah kedua mengenai hakikat pengalaman. Kaum empiris tidak bisa memberikan jawaban yang meyakinkan mengenai hakikat pengalaman itu sendiri. Padahal pengalaman merupakan cara untuk menemukan pengetahuan dan pancaindera sebagai alat penangkapnya. Namun pancaindera manusia sangat terbatas kemampuannya dan sering tertipu. Seperti contoh ketika kita melihat tongkat lurus yang setengah bagiannya terendam air akan kelihatan menjadi bengkok.
C. Intuisi
Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah, tiba-tiba saja menemukan jawabannya tanpa melalui proses berfikir yang berliku-liku. Bisa juga intuisi ini bekerja dalam keadaan yang tidak sepenuhnya sadar, artinya jawaban atas suatu masalah tidak dalam waktu orang tersebut secara sadar sedang menggelutinya. Contohnya saat kita salat, tiba-tiba ingat menaruh kunci yang sebelumnya menjadi masalah sebab lupa menaruhnya.
Adapun sifat dasar dari kebenaran intuisi ini sangat personal, subjektif dan tidak bisa diramalkan. Oleh karenanya intuisi tidak dapat diandalkan sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan yang memiliki syarat keteraturan. Disisi lain intuisi termasuk pengetahuan yang benar karena selalu berkesuaian dengan kenyataan, sehingga bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
D. Wahyu
Wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia yang diutus-Nya. Pengetahuan yang bersumber dari wahyu harus disadarkan kepada keyakinan. Sifat kebenaran wahyu mutlak dan tak terbantahkan. Akan tetapi, dikarenakan kadar kepercayaan yang dimiliki oleh manusia itu tidak sama, maka dalam mensikapi dan menilai kebenaran wahyu itu sendiri tetap subjektif.
***
Setelah kita mengetahui sumber-sumber pengetahuan, penting bagi kita untuk memahami kapling pengetahuan sebagai implikasinya. Dengan pemahaman yang baik kita akan dapat memperlakukan masing-masing pengetahuan itu sesuai kaplingnya. Ada tiga macam pengetahuan yang diusahakan, yakni sain, filsafat dan mistik. Ketiganya memiliki objek, paradigma, metode dan kriteria yang membedakan antara satu dengan lainnya. Simak gambar berikut ini untuk memahami ketiga pengetahuan manusia;
Contoh sederhana pengetahuan sain seperti saat seseorang ingin tahu, jika jeruk ditanam, akan berbuah apa? setelah menunggu beberapa tahun, ia menjadi tahu bahwa bibit jeruk bila ditanam akan berbuah jeruk. Inilah pengetahuan sain, yakni pengetahuan yang rasional dan didukung bukti empiris. Adanya bukti empiris ini merupakan gelaja yang paling menonjol dalam pengetahuan sain.
Formula utama dalam pengetahuan sain adalah buktikan bahwa itu rasional dan tunjukkan bukti empirisnya. Formula ini penting diperhatikan sebab kadangkalanya kita melihat bukti empirisnya ada, tetapi tidak rasional. Seperti contoh ketika gerhana bulan, pukullah kentongan agar hilang. Apabila kita terus memukul kentongan lama kelamaan gerhana akan hilang, ini memang dapat dibuktikan secara empiris. Namun ini tidak rasional, karena tidak ada pengaruh kentongan yang dipukul (X) dengan menghilangnya gerhana (Y). Toh, walaupun tidak memukul kentongan, lama-kelamaan gerhana akan hilang kan?
Adapun contoh pengetahuan filsafat, seperti saat kita bertanya "mengapa jeruk selalu berbuah jeruk?". Jawabanya adalah jeruk selalu berbuah jeruk karena ada hukum yang mengatur demikian. Hukum ini tidak kelihatan, jadi tidak empiris. Tetapi akal mengatakan hukum itu ada dan bekerja. inilah pengetahuan filsafat, yakni pengetahuan yang kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Apabila rasional maka menjadi benar, bila tidak akan salah. Kebenaran pengetahuan filsafat tidak pernah dapat dibuktikan secara empiris. Apabila ia rasional dan empiris, akan berubah menjadi pengetahuan sain. Objek pengetahuan filsafat adalah abstrak rasional, maka temuannya juga abstrak.
Selanjutnya apabila muncul pertanyaan yang lebih dalam lagi, "siapa yang membuat hukum itu?". jawabannya adalah hukum dibuat oleh Tuhan. Ini logis dalam arti supra-rasional, maka ini masih termasuk pengetahuan filsafat.
Apabila ada seseorang yang ingin tahu lebih mendalam lagi, muncul pertanyaan "siapa Tuhan itu, saya ingin mengenal-Nya, saya ingin melihat-Nya dan belajar langsung kepada-Nya". Pertanyaan itu tidak bisa dijawab oleh pengetahuan sain maupun filsafat. Sebab objek yang hendak mereka ketahui bukanlah objek empiris dan tidak pula bisa dijangkau akal rasional. Objek tersebut adalah abstrak-supra-rasional, untuk mengetahuinya menggunakan rasa dan iman, bukan menggunakan pancaindera atau akal rasional. Inilah pengetahuan mistik. Kebenaran pengetahuan mistik ini pada umumnya tidak dapat dibuktikan secara empiris, dan selalu tidak terjangkau pembuktian rasional.
Rujukan:
1. Dr. H. Teguh, M.Ag, Filsafat Ilmu, (Tulungagung: IAIN Tulungagung Press, 2017)
Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2019)
Comments
Post a Comment