Oleh: Muhammad Fauzi Ridwan
Pada kurun waktu dimana masyarakat masih hidup primitif tidak terdapat pembedaan antara berbagai pengetahuan. Pokoknya segala apa yang diketahui adalah pengetahuan dan semuanya adalah satu. Seorang ketua suku umpamanya dapat merangkap hakim, penghulu atau bahkan seorang guru besar. Dalam perkembangannya abad penalaran ada perubahan konsep dasar dari kesamaan menjadi perbedaan. Mulailah terdapat pembedaan yang jelas antara berbagai pengetahuan yang mengakibatkan timbulnya spesialisasi pekerjaan. Konsekuensinya dapat mengubah struktur kemasyarakatan.
Sebelum masuk pada masa Yunani Kuno, manusia menjadikan mite-mite dan dongeng sebagai pembenaran terhadap setiap gejala alam. Tentunya jawaban yang diberikan Mitologi Yunani lolos dari kontrol akal (rasio). Apakah rasional apabila petir itu berasal dari amukan dewa Thor? pembenaran yang berdasarkan mite ini berlangsung sampai abad ke 6 sebelum Masehi.
Dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, masa paling dasar adalah periode filsafat Yunani (abad 6 SM - 0 M). Pada masa ini memiliki ahli filsafat bernama Thales (624-546 SM). Pada masa ini ditandai dengan usaha menemukan prinsip (arche) yang menjadi dasar dari segala sesuatu yang ada. Para pemikir banyak berbicara tentang unsur pembentuk kosmos atau prinsip yang mendasari segala sesuatu. Thales menyebut air sebagai asas dari segala yang ada.
Tokoh yang lain seperti Anaximander (611-545 SM) menyebut aperion yakni sesuatu yang tidak terbatas sebagai asal mula dari segala sesuatu. Anaximenes (588-524 SM) menyebut udara karena merupakan unsur vital kehidupan. Pythagoras (580-500 SM) menyatakan bahwa asas segala sesuatu dapat diterangkan atas dasar bilangan-bilangan. Diskusi kefilsafatan selanjutnya bukan lagi tentang apakah asal usul kejadian alam semesta, tetapi apakah realitas itu berubah atau tetap. Tampil dua filosof Herakleitos (540-475 SM) dan Parmenides (540-475 SM). Ada ungkapan terkenal Herakleitos yakni panta rhei khai uden menei, artinya semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang tinggal mantap. Sebaliknya Parmenides menegaskan bahwa realitas itu tetap, tidak berubah. Lain dengan Demokritos (460-370 SM) menegaskan bahwa realitas terdiri dari banyak unsur yang disebut dengan atom. Pandangan Demokritos ini merupakan cikal bakal perkembangan ilmu fisika, kimia dan biologi.
Dimulainya tahap rasionalisasi pemikiran manusia tentang alam semesta pada saat filsafat Yunani telah berhasil mematahkan berbagai mitos tentang kejadian dan asal usul alam semesta. Tokoh Filsafat yang paling banyak dibicarakan adalah Socrates (470-399 SM). Ia menggunakan metode berfilsafat yang disebut dialektika. Socrates tidak menyampaikan pengetahuan, tetapi dengan pertanyaan-pertanyaannya ia membidani lahirnya pengetahuan yang terdapat dalam jiwa orang lain. Dengan pertanyaan lebih lanjut Socrates menguji nilai pikiran-pikiran yang sudah dilahirkan. Tradisi dialog dalam berfilsafat ini diteruskan murid Socrates yang bernama Plato (428-348 SM).
Puncak pemikiran filsafat Yunani pada murid Plato yang bernama Aristoteles (384-322 SM). Aristoteles mengatakan bahwa tugas ilmu pengetahuan ialah mencari penyebab-penyebab objek yang diselidiki yang ini menjadi kekurangan utama para filsof sebelumnya yang sudah menyelidiki alam. Ada empat sebab menurut Aristoteles untuk memahami proses kejadian segala sesuatu.
1. Penyebab material; bahan darimana benda dibikin.
2. Penyebab formal; bentuk yang menyusun bahan.
3. Penyebab Efisien; sumber kajadian atau faktor yang menjalankannya.
4. Penyebab Final; tujuan yang menjadi arah seluruh kejadian.
Sumbangsih Aristoteles dalam perkembangan ilmu pengetahuan adalah pemikirannya tentang silogisme.
Pada awal perkembangan pemikiran filsafat Barat pada masa Yunani kuno, filsafat identik dengan ilmu pengetahuan. Hal ini berarti antara pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan pada waktu itu tidak dipisahkan. Semua hasil pemikiran manusia pada waktu itu disebut filsafat. Kemudian terjadi perubahan pada abad pertengahan, pada masa ini identik dengan agama. Pada masa ini pemikiran filsafat menjadi satu dengan dogma gereja (agama). Implikasinya apapun yang dikatakan gereja adalah kebenaran. Abad pertengahan berlangsung pada abad ke 6 sampai 16 Masehi. Zaman Pertengahan di Eropa adalah zaman keemasan bagi kekristenan.
Setelah itu muncullah Renaissans pada abad ke-15 dan Aufklaerung di abad ke-18, filsafat memisahkan diri dari agama. Era Renaissans adalah suatu masa yang sangat menaruh perhatian dalam bidang seni lukis, patung, arsitektur, musik, sastra, filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi. Kebebasan pendapat terjadi waktu itu tanpa takut dihukum gereja. Pola pemikiran yang menentang dogmatis mampu melahirkan suatu perubahan yang revolusioner yang membentuk pola pemikiran baru dalam filsafat. Renaissans merupakan era kelahiran kembali kebebasan manusia dalam berfikir. Filsuf pada masa ini adalah Nicolaus Copernicus (1473-1543 M) yang menyatakan matahari sebagai pusat jagad raya dan bumi memiliki dua gerak yang disebut dengan teori heliosentrisme. Teori ini menentang Ptolomeus yang diperkuat oleh Gereja dengan teorinya geosentrisme, yakni bumi adalah pusat jagad raya. Teori Copernicus melahirkan revolusi pemikiran tentang alam semesta terutama Astronomi. Tokoh lainnya pada masa Abad Pertengahan lainnya adalah Francis Bacon (1561-1626 M), Galileo Galilei (1564-1642 M), dan Thomas Aquinas (1125-1274 M)
***
Ada empat periodesasi perkembangan sejarah filsafat barat. Periodesasi ini didasarkan atas ciri pemikiran yang dominan pada masa itu.
1. Masa Yunani Kuno, memiliki ciri pemikiran kosmosentris. Para filosof mempertanyakan asal usul alam semesta dan jagad raya.
2. Masa Abad Pertengahan, ciri pemikirannya teosentris. Para filosof memakai pemikiran filsafat untuk memperkuat dogma-dogma agama Kristiani.
3. Abad Modern, cirinya antroposentrisme yakni menjadikan manusia sebagai pusat analisis filsafat. Pada zaman modern filsafat tetap sekuler, namun filsafat ditinggalkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan telah berdiri sendiri dan menjadi berbagai cabang ilmu yang telah berkembang pesat.
4. Abad Kontemporer, dengan ciri logosentris yang berarti menjadikan teks menjadi tema sentral diskursus para filosof.
Rujukan:
1.
Dr. H. Teguh, M.Ag, Filsafat Ilmu,
(Tulungagung: IAIN Tulungagung Press, 2017)
2.
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat
Ilmu (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. X, 2010)
Comments
Post a Comment