Abu Ali Husein Ibn Abdillah Ibn Sina, lahir di Afsyana, dekat Bukhara. Hidup pada masa Dinasti Samani. Diceritakan oleh Jurjani, (murid sekaligus penyusun sejarah hidup Ibnu Sina) sewaktu berumur 18 tahun, Ibn Sina telah dikenal sebagai dokter dan pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur. Pada usia 21 tahun telah menuntaskan pelajarannya dan mulai menulis karya-karya master piece nya.
Ibn Sina juga menganut faham pancaran sebagaiman Al Farabi. Namun ada yang berlainan, menurut Ibn Sina akal pertama memiliki dua sifat.
1. Sifat wajib wujudnya sebagai pancaran Allah
2. Sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakikat dirinya.
Dengan demikian, ia memiliki tiga obyek pemikiran.
1. Tuhan _ timbul akal-akal
2. dirinya sebagai wajib wujudnya _ timbul jiwa-jiwa
3. dirinya sebagai mungkun wujudnya_ timbul langit-langit.
Terkait pemikiran tentang jiwa, Ibnu Sina mengikuti Aristoteles. Ia membagi jiwa dalam tiga bagian:
1. Jiwa tumbuh-tumbuhan (al nafs al nabatiyah)
- daya makan (al ghaziyah)
- daya tumbuh (al manmiyah)
- daya berkembangbiak (al maulidah)
2. Jiwa binatang (al nafs al hayawaniyah)
- daya gerak (al muharikah)
- daya menangkap (al mudrikah)
meliputi a) menangkap dari luar dan b) menangkap dari dalam (b1) Indera bersama yg menerima tangkapan panca indera (b2) Representasi - menyimpan (b3) imajinasi - menyusun (b4) Estimasi - menangkap hal abstrak (b5) Rekoleksi - menyimpan hal abstrak.
3. Jiwa Manusia (al nafs al natiqah)
- daya praktis_berhubungan badan
- daya teoritis_berhubungan dengan hal abstrak. a) akal material - potensi berfikir. b) akal yg mulai dilatih untuk berfikir hal abstrak. c) akal aktuil,
Ibnu Sina memiliki pemikiran Filsafat wujudiah / eksistensialisme. Pemikiran ini ingin membuktikan adanya Tuhan menggunakan sistematika logika. Berikut argumen logika Ibnu Sina:
1. Esensi yg tak dapat mempunyai wujud (Mumtani') impossible being. Ex, Adanya kosmos lain disamping kosmos yg ada
2. Esensi yg boleh mempunyai wujud dan boleh tidak (Mumkin) contingent being. Ex. Alam. awalnya tidak ada, menjdi ada, dan akhirnya hancur menjadi tidak ada.
3. Esensi yg tidak boleh mesti mempunyai wujud. Esensi dan wujud adalah sama dan satu (wajib al wujud, necessary being. Tuhan.
Sumber Bacaan:
Maftukhin, Filsafat Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012)
Comments
Post a Comment